DARI SEMESTA BAHASA KE PUISI CINTA
Sajak-sajak Sulaiman Djaya
————————————————————————————–
SEMESTA BAHASA
Menjelajah semesta, betapa banyak
yang tak kubaca. Ada kegembiraan yang bisu
di rumbai tunas-tunas matahari
serupa aku yang ingin menyentuh
wajahmu. Mencat sepasang bibirmu.
Menenun rambutmu dengan senja
yang tak pernah menua
sepanjang usia.
Seperti baris-baris pohon ceri
dan gugusan jati
dalam buaian
kemarau panjang.
Ada hidup yang mengalir
bersama arus air.
Juga betapa mengagumkan
setiap yang gugur
bersama siklus. Doa-doa didaraskan
mereka yang terusir
dan dinyanyikan dalam sukacita.
Tapi para penjual agama
telah mencandu dusta.
Tentu kau tak tertipu, sayang,
kepada mereka yang mendaku
para penyembah Tuhan
sembari berjualan firman
demi bursa saham.
Lebih baik kau dengarkan
betapa lirih serupa tasbih dalam sunyi
para pemilik sayap
menulis kata-kata
di udara. Para peziarah
dan pencumbu bunga-bunga
selalu ikhlas untuk pergi dan datang
mengurai bahasa.
(2019)
Tatabahasa
Ketika hujan menyembunyikan senja
Ada sepi yang teraduk bersama dedak kopi
Dalam segelas waktu. Kenanganku
Yang entah kenapa menolak
Dihapus dari tatabahasa dan sajakku.
Asap rokok kretekku mengepul
Dan lalu hilang seperti maut dan kegaiban
Yang kelak jadi takdirku.
Pendar cahaya lampu-lampu
Dan jalanan basah, seperti saling berkhianat
Dalam rahasia. Antara ventilasi dan daun-daun
Yang kedinginan, ricik memang terdengar
Seperti kesedihan. Juga kegembiraan
Saling berebut ingatan. Meski tak juga
Kutemukan kata dan kalimat
Untuk memberinya sebuah nama.
(2016)
Sajak Cinta
Matamu danau dan aku sunyinya
Yang terpanggang matahari.
Ada cahaya juga nelayan
Cakrawala menjaring hujan
Dan burung-burung telah mencuri sepi.
Waktu.
Apa yang kau pahami tentang waktu,
Sayangku? Manusia mati
Dengan cara mereka masing-masing.
Tapi aku masih tetap menulis puisi.
Waktu adalah kerianganku
Dan kegembiraanmu
memindahkan kata-kata sesuka kita
Pada kertas-kertas usia.
Udara mengembara seperti pikiran
Yang bertamasya ke masa silam.
Langkah-langkahku mengundi nasib
Terkadang harus rela terhenti
Oleh sesuatu yang justru membuatmu
Tertawa. Aku matahari
Dan engkau rumput pagihari
Di pematang masa kecil.
(2019)
Kebun Sajak
Hari-hari Maret tahun ini selalu dikunjungi hujan. Benih dan tanamanku kuyup dan tergenang. Kucintai dan kurawat mereka sebagaimana kucintai kata-kata yang memberiku kebahagiaan dan kegembiraan. Mereka adalah nasib dan hari-hariku dalam semesta. Nafasku adalah nafas mereka dan begitu juga sebaliknya. Keriangan mereka adalah kerianganku juga. Tumbuh bangkit ke atas dan yang lain menjalar mengikuti matahari berjalan. Aku belajar dari mereka untuk mencintai dan menjalani hidup apa adanya. Mensyukuri hujan atau menadah cahaya matahari dengan tubuh yang kupunya. Hari-hari Maret tahun ini senantiasa dikunjungi kegembiraan: Untuk menerima kata-kata dan bahasa dari alam raya, tak hanya dari kamus dan perpustakaan saja.
(2019)
Kecambah
Engkau lahir dan tumbuh
Seperti kata tak boleh ragu
Untuk jadi suara dan lagu
Bagiku dan bagimu
Dari rahim sunyi dan sepi
Seorang penyair. Misal
Batang-batang dan ranting
Adalah amsal diri dan takdir,
Apakah bumi
Ataukah langit yang mesti
Kucintai? Dan puisi
Masihkah harus ditulis?
(2019)
Di Jaman Ini
Di jaman ini, kita tak perlu membaca
Dan menulis puisi. Bahasa telah
Menjadi produk-produk teknologi.
Media-media berita
Telah membunuhnya setiap hari
Dan orang-orang telah terbiasa
Dengan hasutan dan propaganda
Yang mereka bela sebagai kebenaran
Tak terbantahkan.
Setiap hari kita dipaksa
Membaca bahasa-bahasa yang mati
Oleh agitasi korporasi.
Orang-orang tak lagi bisa mengerti
Kenapa sebuah kata
Punya arti lain sesuai hasrat,
Kesedihan, kegembiraan,
Dan kedunguan mereka
Karena candu televisi.
(2019)
Umur Kata
Aku rindu ricik air
Di batu-batu
Masa kanakku. Kapuk randu
Yang terhambur.
Matahari bermain
Dengan unggas
Ibundaku
Dan para serangga
Beterbangan di lalang
Yang hilang.
Aku rindu masa kecil
Ketika belum kukenal
Bahasa yang
Dijadikan senjata
Oleh mereka
Yang menganggap hidup
Sekedar benda-benda
Untuk dibeli
Dengan kertas bergambar.
Aku rindu pagi
Yang bernyanyi
Di ranting-ranting
Yang disentuh matahari
Setelah gerimis
Subuh hari.
Ketika kubaca dunia
Dari kata-kata doa
Yang didaras ibunda.
(2019)
Solilokui
Masih kujumpai ragam kupu-kupu
Tidak kunang-kunang
Saat aku susuri pematang kering
Dengan beberapa pohon cherri
Bercabang ramping.
Sudah lama aku tak berjalan sendiri
Mencandai sepi
Mencandai angin
Menyentuh remah-remah matahari
Dengan mata dan tanganku.
Musim enggan untuk diramal
Dan betapa panjang lelah
Bahkan rumput pohonan jati
Terhempas cuaca
Seperti masa kecil
Yang direnggut lupa.
Mengingatkanku pada sorehari
Yang kutinggalkan
Pada kenangan ibuku
Saat merapihkan batang-batang padi
Yang diketam
Dengan rasa letih.
Debu-debu singgah
Di jendela dan buku-buku.
Tapi sudah tak ada kapuk randu
Yang dulu hablur
Di antara bunyi arus air
Dan suara itik
Akhir Agustus.
Sudah lama tak kuakrabi
Dan tak kurenungi
Kanak-kanak matahari
Di sela-sela ranting
Membiarkan hatiku berkelana
Memahami semesta
Yang luas terhampar
Dan yang ada
Dalam diri.
(2019)
Di Kebon Sirih
Di pedestrian rindang ini, aku pernah membeli
segelas plastik kopi dari seorang ibu,
duduk menunggu seseorang
dan kini seperti
belum lama terjadi
cahaya matahari yang sama
luruh bersama daun-daun kering
disapu seorang bapak
seakan menyapu puing-puing nasib
atau sesosok malaikat memunguti luka-luka
kebiadaban sejarah manusia
dalam perpustakaan yang seringkali
ditulis dengan dusta
dan aku bertanya: tentang apa
puisi mesti ditulis?
Ketika lalu-lalang perempuan-perempuan belia
berseragam dan para pedagang asongan
sama nyatanya di hadapan mata.
Seakan ini kali kesekian aku percaya
bahwa perumpamaan bukan sesuatu tentang
yang tak ada.
Barangkali, seperti ketika aku,
terkenang diam matamu
di kota yang lain, selalu saja, pada akhirnya
yang bagiku senantiasa indah
adalah ketika lelaki jatuh cinta
pada perempuan yang belum dikenalnya
yang memberinya tuah kata
dan bahasa
untuk menuliskan riwayat hidupnya.
(2019)
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), dan lain-lain.